Sabtu, 30 April 2011

TORCH

CYTOMEGALOVIRUS dalam KEHAMILAN

Cytomegalovirus – CMV adalah virus DNA dan merupakan kelompok dari famili virus Herpes sehingga memiliki kemampuan latensi. Virus ditularkan melalui berbagai cara a.l tranfusi darah, transplantasi organ , kontak seksual, air susu , air seni dan air liur ; transplansental atau kontak langsung saat janin melewati jalan lahir pada persalinan pervaginam.
30 – 60% anak usia sekolah memperlihatkan hasil seropositif CMV, dan pada wanita hamil 50 – 85%. Data ini membuktikan telah adanya infeksi sebelumnya. Gejala infeksi menyerupai infeksi mononukleosis yang subklinis. Ekskresi virus dapat berlangsung berbulan bulan dan virus mengadakan periode laten dalam limfosit, kelenjar air liur, tubulus renalis dan endometrium. Reaktivasi dapat terjadi beberapa tahun pasca infeksi primer dan dimungkinkan adanya reinfeksi oleh jenis strain virus CMV yang berbeda.
DIAGNOSIS
Virus dapat di isolasi dari biakan urine atau biakan berbagai cairan atau jaringan tubuh lain.
Tes serologis mungkin terjadi peningkatan IgM yang mencapai kadar puncak 3 – 6 bulan pasca infeksi dan bertahan sampai 1– 2 tahun kemudian.
IgG meningkat secara cepat dan bertahan seumur hidup
Masalah dari interpretasi tes serologi adalah :
  1. Kenaikan IgM yang membutuhkan waktu lama menyulitkan penentuan saat infeksi yang tepat
  2. Angka negatif palsu yang mencapai 20%
  3. Adanya IgG tidak menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi yang persisten
DAMPAK TERHADAP KEHAMILAN
CMV adalah infeksi virus kongenital yang utama di US dan mengenai 0.5 – 2.5 % bayi lahir hidup. Infeksi plasenta dapat berlangsung dengan atau tanpa infeksi terhadap janin dan infeksi pada neonatus dapat terjadi pada ibu yang asimptomatik.
Resiko transmisi dari ibu ke janin konstan sepanjang masa kehamilan dengan angka sebesar 40 – 50%.
10 – 20% neonatus yang terinfeksi memperlihatkan gejala-gejala :
  1. Hidrop non imune
  2. PJT simetrik
  3. Korioretinitis
  4. Mikrosepali
  5. Kalsifikasi serebral
  6. Hepatosplenomegali
  7. hidrosepalus
80 – 90% tidak menunjukkan gejala namun kelak dikemudian hari dapat menunjukkan gejala :
  1. Retardasi mental
  2. Gangguan visual
  3. Gangguan perkembangan psikomotor
Seberapa besar kerusakan janin tidak tergantung saat kapan infeksi menyerang janin.
CNV rekuren berkaitan dengan penurunan resiko janin dengan angka penularan ibu ke janin sebesar 0.15% – 1%
Tidak ada terapi yang efektif untuk cytomegalovirus dalam kehamilan.
Pencegahan meliputi penjagaan kebersihan pribadi, mencegah tranfusi darah
Usaha untuk membantu diagnosa infeksi CMV pada janin adalah dengan melakukan :
  1. Ultrasonografi untuk identifikasi PJT simetri, hidrop, asites atau kelainan sistem saraf pusat
  2. Pemeriksaan biakan cytomegalovirus dalam cairan amnion

Senin, 28 September 2009

HERPES GENITALIS dalam KEHAMILAN

dr.Bambang Widjanarko, SpOG
Fak.Kedokteran & Kesehatan UMJ JAKARTA


Herpes GEnitalis
  • Herpes Genitalis disebabkan oleh virus herpes simplex – HSV tipe 1 dan 2
  • antibodi HSV 2 ditemukan pada 7.6% darah donor, namun hanya 50% yang menyatakan pernah menderita herpes genitalis. Disimpulkan bahwa banyak infeksi herpes yang bersifat subklinis
  • Kasus yang disebabkan oleh HSV tipe 2 terutama dijumpai pada wanita muda
  • Lesi awal berupa pembentukan erupsi veskular atau ulserasi yang akut dan diikuti dengan penyembuhan secara spontan
  • HSV mengalami penjalaran melalui nervus sensorik perifer kedalam ganglion dorsal dan tetap tinggal dalam fase istirahat.(masa laten), reaktivasi akan menyebabkan timbulnya lesi ulangan dan memiliki potensi penularan.
GEJALA dan TANDA
Infeksi Primer :
  • Merupakan paparan pertama kali terhadap HSV 1 atau 2 yang dapat menyebabkan lesi vulva dan disuria namun kadang kadang juga tanpa gejala. Seringkali di diagnosa sebagai infeksi traktus urinarius atau candidiasis
  • Pada pemeriksaan ditemukan ulkus multiple yang disertai rasa nyeri hebat. Kadang disertai dengan pembesaran kelenjar inguinal
Infeksi non-primer, episode pertama herpes genitalis
Terjadi pada penderita dengan riwayat lesi oro-labial HSV-1 yang kemudian mendapatkan infeksi genital-HSV 2.
Terdapat perlindungan silang dari infeksi oro-labial sehingga gejala yang ditimbulkan oleh HSV 2 lebih ringan dibandingkan gejala yang ditimbulkan oleh infeksi HSV 1
Infeksi non primer ini biasanya lebih asimptomatik dibandingkan infeksi primer.
Herpes Rekuren
  • Episode ulangan dapat asimptomatik (subklinis). Gejala yang timbul biasanya ebih ringan dibandingkan infeksi pertama. Seringkali didahului oleh rasa gatal, pedih atau ngilu di area yang akan timbul erupsi
  • Pada pemeriksaan dijumpai satu atau dua ulcus yang meliputi area kecil
  • 90% penderita infeksi HSV 2 dan 60% pada infeksi HSV 1 akan mengalami kekambuhan dalam tahun pertama. Rata rata kekambuhan 2 kali pertahun , namun beberapa penderita memperlihatkan gejala ulangan yang lebih sering
DIAGNOSIS
Metode diagnosa utama adalah kultur virus pada ulkus
TERAPI dan PENATALAKSANAAN
Herpes primer dan episode infeksi pertama kali
  • Obat antivirus untuk menurunkan berat dan lamanya gejala. Obat ini tidak dapat mencegah latensi sehingga tidak dapat mencegah serangan ulang
  • Regimen :
    • Acyclovir 3 dd 200 mg selama 5 hari ( untuk ibu hamil dan menyusui)
    • Famcyclovir 3 dd 250 mg selama 5 hari
    • Valciclovir 2 dd 500 mg selama 5 hari
  • Analgesik
  • Pemeriksaan PMS lain
  • Penjelasan akan kemungkinan berulangnya penyakit
Herpes Genital Rekuren
  • Rekurensi bersifat “self limiting” dengan terapi suportif
  • Rekurensi dapat diringankan dengan pemberian antiviral sedini mungkin saat erupsi belum muncul
  • Dosis :
    • Acyclovir 5 dd 200 mg selama 5 hari
    • Famciclovir 2 dd 125 mg selama 5 hari
    • Valaciclovir 1 dd 500 mg selama 5 hari
KOMPLIKASI
  • Infeksi primer yang terjadi pada masa kehamilan , khususnya bila terjadi pada trimester III akan dapat menular ke neonatus saat melewati jalan lahir.
  • Herpes Genitalis meningkatkan kemungkinan infeksi HIV 2 – 3 kali lipat
  • Masalah psikologi akibat serangan yang sering berulang
  • Infeksi primer dapat menyebabkan meningitis atau neuropatia otonomik
  • Infeksi jarang menyebar keseluruh tubuh hingga “life threatening”
  • Keadaan ini sering terjadi pada ganguan kekebalan dan masa kehamilan.
Rujukan :
  1. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Genital Herpes Fact Sheet. Updated 1/4/08.
  2. Gardella, C., and Brown, Z.A. Serologic Testing for Herpes Simplex Virus. Contemporary Ob/Gyn, October 2007, pages 54-58.
  3. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG). Management of Herpes in Pregnancy. ACOG Practice Bulletin, number 82, June 2007.
  4. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines 2006. Morbidity and Mortality Weekly Report, volume 55, RR-11, August 4, 2006.
  5. Brown, Z.A., et al. Genital Herpes Complicating Pregnancy. Obstetrics and Gynecology, volume 106, number 4, October 2005, pages 845-856.
  6. Kimberlin, D.W., et al. Natural History of Neonatal Herpes Simplex Virus Infections in the Acyclovir Era. Pediatrics, volume 108, number 2, August 2001.

RUBELLA dalam KEHAMILAN

dr.Bambang Widjanarko, SpOG
Fak.Kedokteran UMJ Jakarta



INFEKSI VIRUS PADA MASA PERINATAL:
  1. Imunitas selama kehamilan :
    • Kehamilan : penurunan fungsi kekebalan yang bersifat “cell mediated”
    • Infeksi virus pada wanita hamil akan memperlihatkan gejala yang lebih berat dibanding tidak hamil ( infeksi poliomyelitis, cacar air / chicken pox )
    • Sistem kekebalan yang masih belum matang pada janin akan menyebabkan janin atau neonatus lebih rentan terhadap komplikasi yang diakibatkan infeksi virus
  2. Terapi antivirus
    • Acyclovir adalah anti virus yang digunakan secara luas dalam kehamilan
    • Acyclovir diperlukan untuk terapi infkesi primer herpes simplek atau virus varicella zoster yang terjadi pada ibu hamil
    • Selama kehamilan dosis pengobatan tidak perlu disesuaikan
    • Obat antivirus lain yang masih belum diketahui keamanannya selama kehamilan : Amantadine dan Ribavirin
  3. Pencegahan aktif dan pasif
    • Vaksin dengan virus hidup tidak boleh digunakan selama kehamilan termasuk polio oral, MMR (measles – mumps – rubella), varicella
    • Vaksin dengan virus mati seperti influenza, hepatitis A dan B boleh digunakan selama kehamilan
    • Imunoglobulin dapat digunakan selama kehamilan

RUBELLA

Rubella ( German Measles ) disebabkan oleh infeksi single – stranded RNA togavirus yang ditularkan via pernafasan dengan kejadian tertinggi antara bulan Maret sampai Mei, melalui vaksinasi yang intensif angka kejadian semakin menurun.
Infeksi virus ini sangat menular dan periode inkubasi berkisar antara 2 – 3 minggu
DIAGNOSIS :
Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan serologi.
IgM akan cepat memberi respon setelah keluar ruam dan kemudian akan menurun dan hilang dalam waktu 4 – 8 minggu
IgG juga memberikan respon setelah keluar ruam dan tetap tinggi selama hidup
Diagnosa ditegakkan dengan adanya peningkatan titer 4 kali lipat dari hemagglutination-inhibiting (HAI) antibody dari dua serum yang diperoleh dua kali selang waktu 2 minggu atau setelah adanya IgM
Diagnosa Rubella juga dapat ditegakkan melalui biakan dan isolasi virus pada fase akut.
Ditemukannya IgM dalam darah talipusat atau IgG pada neonatus atau bayi 6 bulan mendukung diagnosa infeksi Rubella.
DAMPAK TERHADAP KEHAMILAN :
10 – 15% wanita dewasa rentan terhadap infeksi Rubella. Perjalanan penyakit tidak dipengaruhi oleh kehamilan dan ibu hamil dapat atau tidak memperlihatkan adanya gejala penyakit.
Derajat penyakit terhadap ibu tidak berdampak terhadap resiko infeksi janin. Infeksi yang terjadi pada trimester I memberikan dampak besar terhadap janin.
Infeksi fetal :
  1. Tidak berdampak terhadap bayi dan janin dilahirkan dalam keadaan normal
  2. Abortus spontan
  3. Sindroma Rubella kongenital
Secara spesifik, infeksi pada trimester I berdampak terjadinya sindroma rubella kongenital sebesar 25% ( 50% resiko terjadi pada 4 minggu pertama ), resiko sindroma rubella kongenital turun menjadi 1% bila infeksi terjadi pada trimester II dan III
SINDROMA RUBELLA KONGENITAL :
Intra uterine growth retardation simetrik
Gangguan pendengaran
Kelainan jantung :PDA (Patent Ductus Arteriosus) dan hiplasia arteri pulmonalis
Gangguan Mata :
Katarak
Retinopati
Mikroptalmia
Hepatosplenomegali
Gangguan sistem saraf pusat : Mikrosepalus
Panensepalus
Kalsifikasi otak
Retardasi psikomotor
Hepatitis
Trombositopenik purpura

Pemeriksaan rubella harus dikerjakan pada semua pasien hamil dengan mengukur IgG . Mereka yang non-imune harus memperoleh vaksinasi pada masa pasca persalinan. Tindak lanjut pemeriksaan kadar rubella harus dilakukan oleh karena 20% yang memperoleh vaksinasi ternyata tidak memperlihatkan adanya respon pembentukan antibodi dengan baik.
Infeksi rubella tidak merupakan kontra indikasi pemberian ASI
Tidak ada terapi khusus terhadap infeksi Rubella dan pemberian profilaksis dengan gamma globulin pasca paparan tidak dianjurkan oleh karena tidak memberi perlindungan terhadap janin.
Rujukan :
  1. American College of Obstetrician and Gynecologist : Rubella in Pregnancy. Technical Bulletin no 171. Washington DC , ACOG 1992
  2. Dontigny L, Arsenault My, Martel MJ : Rubella in Pregnancy. SOGC Clinical Practice Guideline ,No 203, February 2008. http://www.sogc.org/guidelines/documents/guiJOGC203CPG0802.pdf retrieved on September 2009

Minggu, 27 September 2009

TOKSOPLASMOSIS dalam KEHAMILAN

dr.Bambang Widjanarko , SpOG
Fak.Kedokteran & Kesehatan UMJ JAKARTA



image
The only known definitive hosts for Toxoplasma gondii are members of family Felidae (domestic cats and their relatives). Unsporulated oocysts are shed in the cat’s feces . Although oocysts are usually only shed for 1-2 weeks, large numbers may be shed. Oocysts take 1-5 days to sporulate in the environment and become infective. Intermediate hosts in nature (including birds and rodents) become infected after ingesting soil, water or plant material contaminated with oocysts . Oocysts transform into tachyzoites shortly after ingestion. These tachyzoites localize in neural and muscle tissue and develop into tissue cyst bradyzoites . Cats become infected after consuming intermediate hosts harboring tissue cysts . Cats may also become infected directly by ingestion of sporulated oocysts. Animals bred for human consumption and wild game may also become infected with tissue cysts after ingestion of sporulated oocysts in the environment . Humans can become infected by any of several routes:
  • eating undercooked meat of animals harboring tissue cysts .
  • consuming food or water contaminated with cat feces or by contaminated environmental samples (such as fecal-contaminated soil or changing the litter box of a pet cat) .
  • blood transfusion or organ transplantation .
  • transplacentally from mother to fetus .
In the human host, the parasites form tissue cysts, most commonly in skeletal muscle, myocardium, brain, and eyes; these cysts may remain throughout the life of the host. Diagnosis is usually achieved by serology, although tissue cysts may be observed in stained biopsy specimens . Diagnosis of congenital infections can be achieved by detecting T. gondii DNA in amniotic fluid using molecular methods such as PCR .


Toksoplasmosis adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh protozoa toxplasma gondii. Antara 15 – 45% wanita usia reproduktif memiliki antibodi terhadap toksoplasma ( IgG ) sehingga terlindung dari infeksi toksoplasma.
Gejala umumnya subklinis dan kadang menyerupai sidnroma monukleosis.
Organisme berasal dari makanan menath atau setengah matang yang terpapar dengan ktoran kucing domestik

DAMPAK TERHADAP KEHAMILAN
Angka kejadian infeksi primer dalam kehamilan kira kira 1 : 1000. dalam kehamilan , skrining rutin tidak dianjurkan.
Resiko penularan terhadap janin pada trimester I = 15% ; pada trimester II = 25% dan pada trimester III = 65%. Namun derajat infeksi terhadap janin paling besar adalah bila infeksi terjadi pada trimester I.
Trias klasik toksoplasma berupa :
  1. Hidrosepalus
  2. Kalsifikasi intrakranial
  3. Korioretinitis
Trias tersebut jarang terlihat.
Sekitar 75% kasus yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala saat persalinan. 25 – 50% memperlihatkan skuale seperti terlihat pada tabel dibawah :


MANIFESTASI INFEKSI TOKSOPLASMA KONGENITAL
  • Hidrosepalus
  • Korioretinitis
  • Mikrosepali
  • Mikroptalmia
  • Hepatosplenomegali
  • Kalsifikasi serebral
  • Adepati
  • Konvulsi
  • Perkembangan mental terganggu

Diagnosa pasti infeksi terhadap janin adalah dengan menemukan IgM dalam darah talipusat
Hasil biakan plasenta pada pasien dengan infeksi toksoplasma menunjukkan angka positif sebesar 90%.
penyakit ini jarang terdiagnosa semasa kehamilan oleh karena sebagian besar bersifat subklinis
DIAGNOSIS :
Diagnosa ditegakkan bila IgM positif dan titer IgG yang meningkat 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang selang waktu 2 – 3 minggu.
Titer IgM akan tetap tinggi sampai 3 – 4 bulan
TERAPI
Toksoplasma termasuk penyakit “self limiting disease” Mengingat bahwa adanya potensi untuk menimbulkan cacat pada janin maka dapat diberikian terapi :
  1. Spiramycin , pada kasus infeksi akut yang ditegakkan melalui pemeriksaan serologi umunya diterapi dengan spiramycin 1 gram 3 dd 1 dakam keadaan perut kosong . Spiramycin akan terkonsentrasi pada plasenta sehingga dapat mencegah penjalaran infeksi je janin. Akan tetapi kemampuan spiramycin untuk mencegah penularan vertikal masih kontroversial. Spiramycin tidak menembus plasenta dengan baik sehingga amniosentesis dan pemeriksaan PCR untuk melihat adanya toksoplasma gondii harus dikerjakan sekurangnya 4 minggu pasca infeksi maternal akut pada trimester ke II . Bila hasil pemeriksaan PCR negatif, Spiramycin dapat diteruskan sampai akhir kehamilan. Bila hasil pemeriksaan PCR positif maka dugaan sudah adanya infeksi pada janin harus diterapi dengan obat lain .
  2. Pyrimethamine dan Sulfadiazine , Kombinasi pyrimethamine and sulfadiazine,( folic acid antagonists dengan efek sinergi ) digunakan untuk menurunkan derajat infeksi kongenital dan meningkatkan proporsi neonatus tanpa gejala.
  3. asam Folinat untuk mencegah kerusakan pada janin
Wanita hamil harus menghindari kontak dengan kucing atau kotorannya , mengenakan sarung tangan karet tebal saat berkebun dan menghidari konsumsi daging metah atau setengah matang.
Rujukan :
  1. American College of Obstetricians and Gynecologists. Perinatal viral and parasitic infections. Technical Bulltein no 177.Washington DC . ACOG 1993
  2. Couvreur J, Desmonts G, Thulliez P. Prophylaxis of congenital toxoplasmosis. Effects of spiramycin on placental infection. J Antimicrob Chemother. 1988;(Suppl B):193–200. [PubMed]
  3. C Giannoulis, B Zournatzi, A Giomisi, E Diza, and I Tzafettas Toxoplasmosis during pregnancy: a case report and review of the literature. http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2504397 Retrived September 2009
  4. Gilbert R, Gras I; European Multicentre Study on Congenital Toxoplasmosis. Effect of timing and type of treatment on the risk of mother to child transmission of Toxoplasma gondii. BJOG 2003;110:112-20.
  5. Thiebaut R, Leproust S, Chene G, Gilbert R. Effectiveness of prenatal treatment for congenital toxoplasmosis: a meta-analysis of individual patient's data. Lancet. 2007;369:115–122. [PubMed]
  6. Wallon M, Liou C, Garner P, Peyron F. Congenital toxoplasmosis: systematic review of evidence of efficacy of treatment in pregnancy. BMJ. 1999;318:1511–1514. [PubMed]

Terminasi Kehamilan

DILATASI & KURETASE


cilation and curretege Tindakan ginekologik untuk mengakhiri kehamilan pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu disebut sebagai aborsi yang dikerjakan melalui tindakan kuretase tanpa atau disertai dengan dilatasi kanalis servikalis terlebih dulu ( D & C ).
Aborsi elektif atau “voluntary” adalah terminasi kehamilan sebelum “viability” atas kehendak pasien dan tidak berdasarkan alasan medik.

Indikasi

pengosongan uterus pada kehamilan kurang dari 20 minggu :
  1. Menghentikan perdarahan pervaginam pada peristiwa abortus spontan
  2. Kematian janin intra uterine ( IUFE-intra uterine fetal death)
  3. Kelainan kongenital berat yang menyebabkan gangguan anatomis atau gangguan mental hebat
  4. Mola hidatidosa
  5. Kelainan medik yang menyebabkan seorang wanita tidak boleh hamil:
    1. Penyakit jantung,
    2. Penyakit hipertensi yang berat,
    3. Carcinoma cervix invasif
  6. [Psikososial misalnya pada korban perkosaan atau “incest” yang menjadi hamil]
  7. [Kegagalan kontrasepsi]

Persiapan tindakan:

  1. Anamnesa, pemeriksaan umum dan pemeriksaan ginekologik
  2. Penjelasan mengenai prosedur pelaksanaan tindakan dan komplikasi yang mungkin terjadi
  3. Penentuan jenis kontrasepsi yang akan digunakan pasca tindakan
  4. “Informed consent” dari pasien dan suami [atau keluarga]

TEHNIK ABORSI

Pembedahan

  1. Dilatasi servik yang dilanjutkan dengan evakuasi:
    1. Kuretase
    2. Aspirasi vakum (suction curettage)
    3. Dilatasi dan evakuasi
    4. Dilatasi dan ekstraksi
  2. Menstrual aspiration
  3. Laparotomi:
    1. Histerotomi
    2. Histerektomi

Medikamentosa

  1. Oksitosin intravena
  2. Cairan hiperosmolar intra amniotik:
    1. Saline 20%
    2. Urea 30%
  3. Prostaglandine E2, F2α, E1 dan analoognya
    1. Injeksi intra amniotik
    2. Injeksi ekstra ovular
    3. Insersi vagina
    4. Injeksi parenteral
    5. Peroral
  4. Antiprogesterone- RU 486 ( mifepristone) dan epostane
  5. Methrotexate- intramuskular dan peroral
  6. Kombinasi bahan-bahan diatas

Perbandingan antara Tehnik Pembedahan dengan tehnik Medikamentosa :

Tehnik
ABORSI MEDIKAMENTOSA
Tehnik
ABORSI BEDAH
Bukan prosedur yang invasif
Selalu tidak menggunakan anaesthesia
Memerlukan lebih dari dua kunjungan
Berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu
Dapat digunakan pada awal kehamilan
Angka keberhasilan 95%
Memerlukan tindak lanjut untuk memastikan bahwa telah terjadi abortus secara lengkap
Memerlukan partisipasi dari pasien pada semua langkah terapi
Prosedur invasif
Bila dipandang perlu, dapat diberikan sedasi / anestesi
Umumnya hanya satu kali kunjungan saja
Berlangsung dalam waktu yang tidak dapat diramalkan
Dapat digunakan pada awal kehamilan
Angka keberhasilan 99%
Tidak selalu memerlukan tindak lanjut untuk memastikan bahwa abortus sudah lengkap
Partisipasi pasien hanya pada satu tahapan saja

DILATASI DAN KURETASE

  1. Bila masih memungkinkan dan dianggap perlu, tindakan untuk memperlebar kanalis servikalis dilakukan dengan pemasangan batang laminaria dalam kanalis servikalis dalam waktu maksimum 12 jam sebelum tindakan kuretase.
  2. Dilatasi juga dapat dilakukan dengan dilatator Hegar yang terbuat dari logam dari berbagai ukuran (antara 0.5 cm sampai 1.0 cm)
  3. Setelah persiapan operator dan pasien selesai, pasien diminta untuk berbaring pada posisi lithotomi setelah sebelumnya mengosongkan vesica urinaria.
  4. Perineum dibersihkan dengan cairan antiseptik
  5. Dilakukan pemeriksaan dalam ulangan untuk menentukan posisi servik, arah dan ukuran uterus serta keadaan adneksa
  6. Spekulum dipasang dan bibir depan porsio dijepit dengan 1 atau 2 buah cunam servik.
clip_image002
Gambar 11.1 : Spekulum vagina dipasang dan dipegang oleh asisten, sonde uterus dimasukkan kedalam cavum uteri untuk menentukan arah dan kedalaman uterus
clip_image002[4]
Gambar 11.2 : Dilatator hegar dijepit diantara ibu jari da jari telunjuk tangan kanan dan dimasukkan kedalam uterus secara hati-hati dan sistematis (mulai dari ukuran diameter terkecil
  1. Gagang sonde dipegang antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan dan kemudian dilakukan sondage untuk menentukan arah dan kedalaman uterus
  2. Bila perlu dilakukan dilatasi dengan dilatator Hegar
  3. Jaringan sisa kehamilan yang besar diambil terlebih dulu dengan cunam abortus
  4. Sendok kuret dipegang diantara ujung jari dan jari telunjuk tangan kanan ( hindari cara memegang sendok kuret dengan cara menggenggam ), sendok dimasukkan ke kedalam uterus dalam posisi mendatar dengan lengkungan yang menghadap atas.
clip_image002[8]
Gambar 11.3 : Sendok uterus dimasukkan secara mendatar dengan lengkungan menghadap atas dan kuretase dikerjakan secara sistematis ( searah jarum jam dan meliputi seluruh cavum uteri )
clip_image002[10]
Gambar 11.4 : Pengeluaran sisa kehamilan

Regimen Aborsi Medikamentosa Untuk Kehamilan Muda :

  • Mifepristone + Misoprostol
    • Mifepristone 100 – 600 mg p.o diikuti dengan
    • Misoprostol 400ug p.o atau 800 ug per vaginam dalam waktu 6 – 72 jam
  • Methrotexate + Misoprostol
    • Methrotexate 50 mg/m2 i.m atau p.o, diikuti dengan :
    • Misoprostol 800 ug per vaginam dalam waktu 3 – 7 hari dan bila perlu diulang dalam waktu 1 minggu kemudian setelah pemberian methrotexate pertama
( Data dari ACOG 2001b, Borgatta 2001; Creinin 2001,2004 ; Pymar 2001, Schaff 2000, von Hertzen 2003; Wiebe 1999, 2002 )

ABORSI PADA TRIMESTER KEDUA

METODE NON INVASIF

  1. Oksitosin intravena dosis tinggi
  2. Prostaglandine E2 suppositoria
  3. Prostaglandine E1 (misoprostol) peroral

OKSITOSIN DOSIS TINGGI

  • Berhasil pada 80 – 90% kasus
  • Pemberian 50 unit oksitosin dalam 500 ml PZ selama 3 jam

PROSTAGLANDINE E2

  • 20 mg Prostaglandine E2 intravaginal pada fornix posterior
  • Efek samping : mual dan muntah, demam dan diare

PROSTAGLANDINE E1

  • 600 ug intra vagina diikuti dengan pemberian 400 ug setiap 4 jam
  • Ramsey dkk (2004) : tehnik ini lebih efektif dibandingkan oksitosin infuse dosis tinggi

Rujukan :
  • Cunningham FG (editorial) : Induction of labor in “William Obstetrics” 22nd ed p 536 – 545 , Mc GrawHill Companies 2005

INDUKSI PERSALINAN

dr.Bambang Widjanarko, SpOG

Angka tindakan pemberian oksitosin baik dengan tujuan induksi persalinan atau mempercepat jalannya persalinan (augmentation labor atau akselerasi persalinan) meningkat dari 20% pada tahun 1989 menjadi 38% pada tahun 2002.
Pembahasan berikut ini menyangkut deskripsi berbagai tehnik pematangan servik dan sejumlah skema induksi atau akselerasi persalinan.

KONSEP UMUM

INDUKSI PERSALINAN ELEKTIF

Saat ini sudah terbukti bahwa tindakan induksi persalinan semakin sering dilakukan. American College of Obstetricians and Gynecologists (1999a) berdasarkan resiko persalinan yang berlangsung secara cepat, tidak mendukung tindakan ini kecuali untuk indikasi-indikasi tertentu (rumah parturien yang jauh dari rumah sakit atau alasan psikososial).
Luthy dkk (2002): Tindakan induksi persalinan berhubungan dengan kenaikan angka kejadian tindakan sectio caesar.
Hoffman dan Sciscione (2003): Induksi persalinan elektif menyebabkan peningkatan kejadian sectio caesar 2 – 3 kali lipat.
Induksi persalinan elektif pada kehamilan aterm sebaiknya tidak dilakukan secara rutin mengingat bahwa tindakan sectio caesar dapat meningkatkan resiko yang berat sekalipun jarang dari pemburukan out come maternal termasuk kematian.
Induksi persalinan eletif yang dirasa perlu dilakukan saat aterm ( ≥ 38 minggu) perlu pembahasan secara mendalam antara dokter dengan pasien dan keluarganya.

INDUKSI PERSALINAN ATAS INDIKASI

Tindakan induksi persalinan dilakukan bila hal tersebut dapat memberi manfaat bagi ibu dan atau anaknya.
INDIKASI:
  1. Ketuban pecah dini dengan chorioamnionitis
  2. Pre eklampsia berat
  3. Ketuban pcah dini tanpa diikuti dengan persalinan
  4. Hipertensi
  5. Gawat janin
  6. Kehamilan postterm
KONTRA INDIKASI:
  1. Cacat rahim ( akibat sectio caesar jenis klasik atau miomektomi intramural)
  2. Grande multipara
  3. Plasenta previa
  4. Insufisiensi plasenta
  5. Makrosomia
  6. Hidrosepalus
  7. Kelainan letak janin
  8. Gawat janin
  9. Overdistensi uterus : gemeli dan hidramnion
  10. Kontra indikasi persalinan spontan pervaginam:
    • Kelainan panggul ibu (kelainan bentuk anatomis, panggul sempit)
    • Infeksi herpes genitalis aktif
    • Carcinoma cervix uteri

PEMATANGAN SERVIK PRA INDUKSI PERSALINAN

Tingkat kematangan servik merupakan faktor penentu keberhasilan tindakan induksi persalinan.
Tingkat kematangan servik dapat ditentukan secara kuantitatif dengan “BISHOP SCORE” yang dapat dilihat pada tabel 13.1
Nilai > dari 9 menunjukkan derajat kematangan servik yang paling baik dengan angka keberhasilan induksi persalinan yang tinggi
Umumnya induksi persalinan yang dilakukan pada kasus dilatasi servik 2 cm, pendataran servik 80% , kondisi servik lunak dengan posisi tengah dan derajat desensus -1 akan berhasil dengan baik.
Akan tetapi sebagian besar kasus menunjukkan bahwa ibu hamil dengan induksi persalinan memiliki servik yang tidak “favourable” ( Skoring Bishop < 4 ) untuk dilakukannya induksi persalinan.
Tabel 10.1 Sistem Skoring Servik “BISHOP” yang digunakan untuk menilai derajat kematangan servik

Sistem Skoring Servik

METODE PEMATANGAN SERVIK MEDIKAMENTOSA

Prostaglandine E2

Dinoprostone lokal dalam bentuk jelly ( Prepidil ) yang diberikan dengan aplikator khusus intraservikal dengan dosis 0.5 mg.
Dinoproston vaginal suppositoria 10 mg (Cervidil).
Pemberian prostaglandine harus dilakukan di kamar bersalin.
Pemberian oksitosin drip paling cepat diberikan dalam waktu 6 – 12 jam pasca pemberian prostaglandine E2.
Efek samping: Tachysystole uterine pada 1 – 5% kasus yang mendapat prostaglandine suppositoria.

Prostaglandine E1

Misoprostol (Cytotec) dengan sediaan 100 dan 200 µg.
Pemberian secara intravagina dengan dosis 25 µg pada fornix posterior dan dapat diulang pemberiannya setelah 6 jam bila kontraksi uterus masih belum terdapat.
Bila dengan dosis 2 x 25 µg masih belum terdapat kontraksi uterus, berikan ulang dengan dosis 50 µg.
Pemberian Misoprostol maksimum pada setiap pemberian dan dosis maksimum adalah 4 x 50 µg ( 200 µg ).
Dosis 50 µg sering menyebabkan :
  • Tachysystole uterin
  • Mekonium dalam air ketuban
  • Aspirasi Mekonium
Pemberian per oral: Pemberian 100 µg misoprostol peroral setara dengan pemberian 25 µg per vaginam

METODE PEMATANGAN SERVIK MEKANIS

  1. Pemasangan kateter transervikal
  2. Dilatator servik higroskopik ( batang laminaria )
  3. “stripping” of the membrane

Pemasangan kateter Foley transervikal.

Tidak boleh dikerjakan pada kasus perdarahan antepartum, ketuban pecah dini atau infeksi.
Tehnik:
  • Pasang spekulum pada vagina
  • Masukkan kateter Foley pelan-pelan melalui servik dengan menggunakan cunam tampon.
  • Pastikan ujung kateter telah melewati osttium uter internum
  • Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air
  • Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina
  • Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau maksimal 12 jam
  • Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan kemudian lanjutkan dengan infuse oksitosin.
Dilatator servik higroskopik
Dilakukan dengan batang laminaria.
Dilakukan pada keadaan dimana servik masih belum membuka.
Pemasangan laminaria dalam kanalis servikalis.
12 – 18 jam kemudian kalau perlu dilanjutkan dengan infus oksitosin sebelum kuretase.
clip_image002[4]
Gambar10-1:
  1. Pemasangan laminaria didalam kanalis servikalis
  2. Laminaria mengembang
  3. Ujung laminaria melebihi ostium uteri internum (pemasangan yang salah)
  4. Ujung laminaria tidak melewati ostium uteri internum (pemasangan yang salah)

Stripping of the membrane”

Metode efektif dan aman untuk mencegah kehamilan posterm.
Menyebabkan peningkatan kadar Prostaglandine serum.

INDUKSI & AKSELERASI PERSALINAN

Dilakukan dengan menggunakan oksitosin sintetis.
Induksi persalinan dan akselerasi persalinan dilakukan dengan cara yang sama tapi dengan tujuan yang berbeda.
Induksi Persalinan (induction of labour): merangsang uterus untuk mengawali proses persalinan.
Akselerasi Persalinan (augmented of labour) : merangsang uterus pada proses persalinan untuk meningkatkan frekuensi – durasi dan kekuatan kontraksi uterus [HIS].
Pola persalinan yang BAIK adalah bila terdapat 3 HIS dalam 10 menit dengan masing-masing HIS berlangsung sekitar 40 detik.
Bila selaput ketuban masih utuh, dianjurkan bahwa sebelum melakukan induksi atau akselerasi persalinan terlebih dahulu dilakukan Pemecahan Selaput Ketuban (ARM ~ Artificial Rupture of Membranes atau amniotomi)

AMNIOTOMI

Pecahnya selaput ketuban (spontan atau artifisial ) akan mengawali rangkaian proses berikut:
  • Cairan amnion mengalir keluar dan volume uterus menurun;
  • Produksi prostaglandine, sehingga merangsang proses persalinan;
  • HIS mulai terjadi (bila pasien belum inpartu) ; menjadi semakin kuat ( bila sudah inpartu)

Tehnik :

clip_image002[6]
  • Perhatikan indikasi
  • CATATAN : Pada daerah dengan prevalensi HIV tinggi, pertahankan selaput ketuban selama mungkin untuk mengurangi resiko penularan HIV perinatal
  • Dengar dan catat DJJ
  • Baringkan pasien dengan tungkai fleksi dan kedua tungkai saling menjauh dan kedua lutut terbuka
  • Gunakan sarung tangan steril, lakukan VT dengan tangan kanan untuk menilai konsistensi – posisi – dilatasi dan pendataran servik
  • Masukkan “amniotic hook” kedalam vagina
  • Tuntun “amniotic hook” kearah selaput ketuban dengan menyusuri jari-jari dalam vagina
  • Dorong selaput ketuban dengan jari-jari dalam vagina dan pecahkan selaput ketuban dengan ujung instrumen
  • Biarkan cairan amnion mengalir perlahan sekitar jari dan amati cairan amnion yang keluar
  • Setelah pemecahan ketuban, dengarkan DJJ selama dan setelah HIS
  • Bila DJJ < 100 atau > 180 dpm : dugaan terjadi GAWAT JANIN .
  • Bila persalinan diperkirakan TIDAK TERJADI DALAM 18 JAM berikan antibiotika profilaksis untuk mengurangi kemungkinan infeksi GBS pada neonatus:
  • Penicillin G 2 juta units IV; atau Ampicillin 2 g IV, tiap 6 jam sampai persalinan; Bila tidak ditemukan gejala infeksi pasca persalinan, hentikan pemberian antibiotika
  • Bila setelah 1 jam tidak nampak tanda-tanda kemajuan persalinan MULAILAH PEMBERIAN OKSITOSIN INFUS
  • Bila indikasi induksi persalinan adalah PENYAKIT MATERNAL IBU YANG BERAT ( sepsis atau eklampsia) mulailah melakukan infuse oksitosin segera setelah amniotomi.

Komplikasi amniotomi:

  1. Infeksi
  2. Prolapsus funikuli
  3. Gawat janin
  4. Solusio plasenta

TEHNIK PEMBERIAN OKSITOSIN DRIP

  1. Pasien berbaring di tempat tidur dan tidur miring kiri
  2. Lakukan penilaian terhadap tingkat kematangan servik.
  3. Lakukan penilaian denyut nadi, tekanan darah dan his serta denyut jantung janin
  4. Catat semua hasil penilaian pada partogram
  5. 2.5 - 5 unit Oksitosin dilarutkan dalam 500 ml Dekstrose 5% (atau PZ) dan diberikan dengan dosis awal 10 tetes per menit.
  6. Naikkan jumlah tetesan sebesar 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus yang adekuat.
  7. Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi > 60 detik atau lebih dari 4 kali kontraksi per 10 menit) hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan pemberian:
    1. Terbutalin 250 mcg IV perlahan selama 5 menit atau
    2. Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan RL 10 tetes permenit
  8. Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat setelah jumlah tetesan mencapai 60 tetes per menit:
  9. Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dekstrose 5% (atau PZ) dan sesuaikan tetesan infuse sampai 30 tetes per menit (15mU/menit)
  10. Naikan jumlah tetesan infuse 10 tetes per menit setiap 30 menit sampai kontraksi uterus menjadi adekuat atau jumlah tetesan mencapai 60 tetes per menit.

Jika masih tidak tercapai kontraksi uterus adekuat dengan konsentrasi yang lebih tinggi tersebut maka:

  • Pada multipgravida : induksi dianggap gagal dan lakukan sectio caesar.
  • Pada primigravida, infuse oksitosin dapat dinaikkan konsentrasinya yaitu :
    • 10 Unit dalam 400 ml Dextrose 5% (atau PZ) , 30 tetes permenit
    • Naikkan jumlah tetesan dengan 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus adekuat.
    • Jika sudah mencapai 60 tetes per menit, kontraksi uterus masih tidak adekuat maka induksi dianggap gagal dan lakukan Sectio Caesar.

Jangan berikan oksitosin 10 Unit dalam 500 ml Dextrose 5% pada pasien multigravida dan atau penderita bekas sectio caesar

Rujukan :

  1. Bujold E, Blackwell SC, Gauthier RJ: Cervical ripening with transervical foley catheter and the risk of uterine rupture. Obstet Gynecol 103:18, 2004
  2. Culver J, Staruss RA,Brody S, et al: A randomized trial comapring vaginal misoprostol versus Foley catheter with concurrent oxytocin for labor induction in nulliparous women. Am J Perinatol 21:139, 2004
  3. Cunningham FG (editorial) : Induction of labor in “William Obstetrics” 22nd ed p 536 – 545 , Mc GrawHill Companies 2005
  4. Guinn DA et al : Extra-amniotic saline infusion, laminaria, or prostaglandine E2 gel for labor induction with unfavourable cervix: A randomized trial. Obstet Gynecl 96:106, 2000
  5. HoffmanMK, Sciscione AC : Elective induction with cervical ripening increase the risk of caesarean delivery in multiparous women. Obstet Gynecol 101:7S, 2003
  6. Saiffudin AB (ed): Induksi dan Akselerasi persalinan dalam “Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal” YBPSP,Jakarta, 2002
  7. Smith KM, Hoffman MK, Sciscione A: Elective induction of labor in nulliparous women increase the risk of caesarean delivery. Obstet Gynecol 101, 45S, 2003

Sistem Urogenital

DISFUNGSI SISTEM UROGENITAL pada WANITA


ANATOMI PANGGUL dan STRUKTUR PENYANGGA ORGAN PANGGUL

Secara anatomis, organ panggul seperti vagina – uterus – kandung kemih dan rektum dipertahankan pada posisi yang normal dalam panggul oleh sepasang muskulus levator ani bilateral yang kearah posterior mengalami fusi.
Celah muskulus levator ani di bagian anterior disebut sebagai hiatus levator ani.
Kearah inferior, hiatus levator ani tertutup dengan diafragma urogenitalis.
Saat masuk kedalam panggul, urethra – vagina dan rektum melintas hiatus levator ani dan diafragma urogenitalis.
Fascia endopelvikum adalah fascia organ visera panggul yang membentuk kondensasi bilateral dalam bentuk ligamentum (yaitu ligamentum pubourethralis – kardinalis dan uterosakralis). Ligamentum tersebut menempelkan organ dengan fascia dinding lateral pelvis dan tulang panggul.
Ligamentum Pelvik
Corpus Perineal adalah titik pusat seluruh otot panggul. Meskipun saat meneran isi cavum abdomen mendesak organ panggul, organ panggul akan tetap berada pada tempatnya dan berada diatas “levator sling” dan corpus perinealis.


PROLAPSUS ORGAN PANGGUL

Prolapsus organ panggul adalah protrusi organ panggul kedalam dan keluar dari kanalis vaginalis. Protrusi dapat terjadi pada satu organ atau bersama sama.
Prolapsus Organ Panggul
Vaginal Prolaps Diagram representasi berbagai jenis prolapsus vagina
ETIOLOGI
  1. Kehamilan
  2. Persalinan per vagina
  3. Menopause
  4. Peningkatan kronis tekanan intra abdomen
    1. Penyakit paru obstruktif kronik
    2. Konstipasi
    3. Asites
    4. Obesitas
  5. Trauma dasar panggul
  6. Faktor genetik
    1. Ras
    2. Penyakit jaringan ikat
  7. Pasca Histerektomi
GEJALA
  • Rasa berat dan penuh dalam panggul
  • Merasakan sesuatu yang keluar dari vagina
  • Aktivitasmeneran yang disertai rasa tak nyaman dan disertai nyeri punggung
Keluhan diatas sering dirasakan bila berdiri terlampau lama, siang hari dan umumnya segera menghilang atau terasa lebih nyaman saat berbaring.
Kasus yang terabaikan seperti prosidentia ( prolapsus uteri melewati introitus vagina ) dapat disertai dengan komplikasi seperti leukorea purulen, ulserasi dekubitik, perdarahan atau bahkan karsinoma servik.
Sering disertai dengan keluhan miksi berupa:
  • Sering buang air kecil
  • Rasa penuh dalam vesika urinaria
  • Inkontinensia urinae
  • Retensio urinae ( pada prolapsus vagina anterior )
Pasien rektokel sering mengeluh kesulitan dalam mengosongkan rektum sehingga sering menderita konstipasi.
DIAGNOSA
Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan vaginal dengan menggunakan Spekulum Sim yang berdaun tunggal. Mintalah pasien meneran sambil dokter menekan dinding posterior vagina. Dengan cara ini dapat terlihat penurunan dinding depan vagina beserta sistokel dan pergeseran muara urethra. Selanjutnya mintalah pasien meneran sambil menekan dinding anterior vagina, dengan cara ini dapat terlihat enterokel dan rektokel. Pemeriksaan rektal sering berguna untuk menunjukkan adanya rektokel dan membedakannya dengan enterokel.
Derajat prolapsus organ panggul dapat dilihat pada tabel berikut :
Klasifikasi Klinik Prolapse Organ Panggul
PENATALAKSANAAN
Tindakan profilaktik dengan mengatasi :
  1. Penyakit pernafasan dan metabolisme kronik
  2. Konstipasi
  3. Gangguan intra abdominal
  4. Pemberian estrogen pada wanita menopause
TINDAKAN NON BEDAH :
  • Olah raga untuk menguatkan otot dasar panggul
  • Pesarium :
    • Keadaan umum tak memungkinkan tindakan pembedahan
    • Kehamilan atau pasca persalinan
    • Terapi dekubitus sebelum operasi
Pesarium dapat menyebabkan iritasi lokal dan ulserasi. Setiap 6 – 12 minggu pesarium dilepas dan dibersihkan untuk menghindari pembentukan fistula, impaksi, perdarahan dan infeksi.
PEMBEDAHAN :
Tujuan utama pembedahan :
  1. Mengatasi keluhan
  2. Restorasi anatomi
  3. Restorasi fungsi organ visera
  4. Memulihkan fungsi seksual
KOLFORAFI ANTERIOR : digunakan untuk koreksi sistokel dan pergeseran urethra. Berupa tindakan plikasi fasia puboservikal untuk menyangga kandung kemih dan urethra.
KOLFORAFI POSTERIOR : digunakan untuk koreksi rektokel
PERINEORAFI : digunakan untuk mengatasi defisiensi corpus perineal.
ENTEROKEL :
Prinsip terapi seperti terapi hernia.
  • Isi kantung dikurangi
  • Leher kantung ( peritoneal sac ) diligasi
  • Penutupan defek dengan mendekatkan ligamentum uterosakral dengan muskulus levator ani
OPERASI MANCHESTER : merupakan kombinasi dari
  • Kolforafi anterior
  • Amputasi servik yang memanjang ( elongated cervix )
  • Kolfoperineorafi posterior
  • Menjahit ligamentum kardinale didepan puntung servik agar terjadi anteversi uterus
HISTEREKTOMI VAGINAL : Dapat dikerjakan secara tersendiri atau disertai pula dengan dengan kolforafi anteror dan posterior.
COLPOCLEISIS PARTIAL LeFort’s : menjahit sebagian dinding anterior dan posterior vagina sehingga uterus berada di bagian atas vagina yang sebagian sudah tertutup akibat disatukannya dinding depan dan belakang vagina..
COLPOCLEISIS TOTAL : Melakukan obliterasi total vagina
SUSPENSI PUNTUNG VAGINA ( COLPOPLEKSI ) yang dapat dikerjakan transvaginal atau transabdominal. Tindakan ini berupa penggantungan puntung vagina pada sakrum atau pada ligamentum sakrospinosum atau ligamentum uterosakral.

INKONTINENSIA URINAE

Inkontinensia urinae adalah keluarnya air seni tanpa sadar sehingga menimbulkan masalah higiene dan sosial bagi penderitanya .
ANGKA KEJADIAN
Inkontinensia urine mengenai 10 – 25% kelompok wanita usia < 65 tahun ; 15 – 30% kelompok wanita usia > 65 tahun dan 50% kelompok wanita penghuni panti Wredha.
Angka Kejadian Inkontinensia Urinae FAKTOR RESIKO :
  1. Usia
  2. Kehamilan dan Persalinan
  3. Menopause
  4. Histerektomi
  5. Obesitas
  6. Gangguan fungsi
  7. Peningkatan tekanan intraabdominal kronis ( batuk kronis, konstipasi, akibat pekerjaan)
  8. Merokok

ANATOMI & FISIOLOGI TRAKTUS URINARIUS WANITA BAGIAN BAWAH

Pada wanita dewasa, urethra berupa sebuah tabung muskuler dengan panjang sekitar 3 – 4 sentimeter, bagian proksimal dilapisi dengan epitel transisional dan dibagian distal dilapisi dengan epitel pipih berlapis. Disekeliling urethra terdapat otot polos.
Sfingter urethra berupa otot bergaris mengitari 2/3 distal urethra dan merupakan 50% dari resisten urethra total yang memeganag peranan agar tak terjadi inkontinensia. Adanya sfingter urethra ini juga memungkinkan dihentikannya aliran urine di akhir proses miksi.
2 buah Ligamentum pubouretral posterior membentuk mekanisme suspensi yang kuat pada urethra dan menahan urethra kearah depan serta mempertahankan kedekatannya dengan pubis saat terjadi stress. Ligamentum ini terbentang dari bagian bawah os pubis kearah batas antara bagian tengah dan 1/3 distal urethra
Anatomi Vesica Urinaria1
Histologi Vesica Urinaria1Anatomi kandung kemih. A. Aspektus anteroposterior anatomi kandung kemih. Inset : dinding kandung kemih yang terdiri dari mukosa-submukosa-muskular dan lapisan tambahan. B. Foto mikrograf dinding kandung kemih. Mukosa kandung kemih yang kosong berbentuk lipatan atau rugae. Pengaturan serabut otot muskulus detrussor menyebabkan sulitnya dibedakan ketiga lapisan yang ada
Sfingter Urethrae Komponen sfingter urethra : (1) Sfingter Urethra (SU) ; (2) Sfingter Urethrovaginal (UVS) dan (3) Kompresor Urethrae (CU) .
Sfingter urethrae adalah otot bergaris yang mengelilingi urethra. UVS dan CU berupa pita otot bergaris yang melengkung ke anterior didepan urethra dan mengadakan insersi ke jaringan fibromuskular dinding anterior vagina.
INERVASI
Traktus urinarius bagian bawah berada dibawah kendali serabut saraf simfatis dan parasimfatis.Serabut parasimfatis berasal dari S2 sampai S4. Stimulasi saraf parasimpatis dan pemberian obat golongan antikolinergik menyebabkan kontraksi muskulus Detrussor. Obat antikolinergik menurunkan tekanan intravesikal dan meningkatkan kapasitas kandung kemih.
Serabut simfatis berasal dari T10 sampai L2. Serabut simfatis memiliki komponen a dan β adrenergik. Serabut komponen β berujung di muskulus Detrussor dan ujung serabut komponen a terutama berada di urethra. Stimulasi a adrenergik menyebabkan kontraksi “bladder neck” dan urethra serta relaksasi muskulus detrussor. Nervus Pudendus ( S2 sampai S4) memberikan inervasi motoris pada sfingter urethra bergaris.
Titik Tangkap Obat Lokasi titik tangkap obat obatan tergambar pada lingkaran

FAKTOR PENGENDALI FUNGSI KANDUNG KEMIH

INERVASI SENSORIS
Sinyal aferen yang berasal dari kandung kemih, trigonum vesikalis dan urethra bagian proksimal berjalan menuju S2 sampai S4 melalui nervus hipogastrikus. Sensitivitas ujung saraf ini meningkat akibat infeksi akut, sistitis interstitsialis, sistitis akibat radiasi dan menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Peningkatan tekanan intravesikal juga terjadi saat berdiri atau pada posisi terlalu kebelakang seperti terlihat pada obesitas, kehamilan atau tumor panggul.
Sinyal inhibisi diduga menjalar melalui nervus pudendus menuju S2 sampai S4 setelah adanya stimulasi mekanis pada daerah perineum dan kanalis ani. Keterangan ini menjelaskan mekanisme mengapa rasa nyeri pada perineum dan kanalis ani dapat menyebabkan retensio urine.
SISTEM SARAF PUSAT
Pada neonatus, penyimpanan dan pengeluaran urine berlangsung secara otomatis dan pengendaliannya setingkat reflek sakral. Pada tahap lanjut, koneksi dengan pusat yang lebih tinggi secara bertahap terbentuk, dan melalui latihan dan kebiasaan, reflek spinal menjadi dipengaruhi faktor sosial sehingga berkemih menjadi satu aktivitas yang terkendali. Pola pengeluaran air seni dapat terganggu oleh adanya penyakit saraf yang mengganggu pengaruh pusat yang lebih tinggi dari reflek spinal, atau berubah akibat adanya gangguan mental, lingkungan atau sosiologis.

PENGENDALIAN KONTINENSIA

Kandung kemih normal dapat menahan urine oleh karena tekanan intraurethral lebih besar dari tekanan intravesikal. Ligamentum pubourethral dan fascia sekitarnya dapat mendukung peran urethra sehingga peningkatan tekanan intraabdominal secara mendadak dapat di transmisikan secara merata pada kandung kemih dan sepertiga proksimal urethra sehingga perbedaan tekanan diantara kedua struktur tersebut tetap sama. Sebagai tambahan, reflek kontraksi levator ani menimbulkan kompresi pada bagian tengah urethra.
Transmisi Tekanan Pada Kandung Kemih Gambar diatas memperlihatkan teori transmisi tekanan. Pada wanita dengan struktur penyangga organ panggul yang normal, peningkatam tekanan intra abdominal akan disebarkan secara merata ke sisi kontralateral kandung kemih dan urethra. Pada pasien dengan struktur penyangga organ panggul yang sudah terganggu peningkatan tekanan intra abdominal akan merubah sudut urethrovesikal dan terjadi inkontinensia

“Stress Urinary Incontinence”

SUI adalah keluarnya air seni secara tidak terkendali pada urethra yang intak dan terjadi akibat peningkatan mendadak tekanan intraabdominal dan tidak terjadi kontraksi kandung kemih.
Tingkat 1 : inkontinensia hanya terjadi pada stress yang berat seperti batuk, bersin atau “jogging”
Tingkat 2 : inkontinensia terjadi pada stress yang sedang seperti bergerak cepat, mendaki atau menurni tangga
Tingkat 3 : inkontinensia terjadi pada stress ringan seperti berdiri lama. Pada posisi berbaring pasien dapat mengendalikan keluarnya air seni.
ETIOLOGI
Kehamilan, persalinan dapat mencederai penyangga “bladder neck” dan urethra bagian proksimal. Selain itu, kontinensia dapat terganggu akibat bertambahnya usia dan pada saat menopause.
Teori terjadinya SUI yang memiliki banyak penganut adalah bahwa patogenesis SUI adalah oleh karena “bladder neck” dan urethra bagian proksimal turun dibawah dasar panggul akibat adanya defek relaksasi panggul. Dengan demikian maka meningkatnya tekanan intraabdominal yang dipicu oleh batuk tidak disalurkan secara merata pada kandung kemih dan urethra . Resistensi urethral terganggu akibat meningkatnya tekanan kandung kemih sehingga terjadi kebocoran air seni.
PEMERIKSAAN PANGGUL
Inspeksi dinding vagina dilakukan dengan menggunakan spekulum ber daun tunggal ( spekulum Sim ) sehingga visualisasi bagian anterior dan “urethrovesical junction” menjadi jelas. Jaringan parut, ketegangan dan kerapuhan urethra akibat pembedahan vagina sebelumnya atau akibat cedera panggul terlihat dengan adanya jaringan parut pada dinding anterior vagina. Oleh karena bagian distal urethra bersifat ‘estrogen dependent” maka maka penderita vaginitis atropik juga menderita urethrtis atropik.
TES DIAGNOSTIK
  • Stress test
  • Q tip test
  • Urethrocystoscopy
  • Cystometogram
  • Pengukuran Tekanan Urethra
  • Uroflowmetry
  • Voiding Cystourethrogram
  • Ultrasonography

SISTOMETROGRAM

Sistometri terdiri dari tindakan mengembangkan kandung kemih dengan sejumlah volume air atau CO2 dan melihat adanya perubahan pada fungsi kandung kemih selama proses pengisian.
Tes ini terutama untuk melihat reflek detrusor dan kemampuan pasien untuk mengendalikan reflek tersebut.
Sensasi pertama seharusnya terjadi saat volume mencapai 150 – 200 ml. Volume kritis yang dapat ditampung kandung kemih adalah 400 – 500 ml sebelum pasien merasakan keinginan keras untuk buang air kecil.
Water Cystometrogram
“Water Cystometrogram” pada pasien normal (A) ; pada pasien dengan hiperrefleksia detrussor (B) dan pada pasien dengan arefleksia detrussor ( hipotonik bladder )
Tanda panah pada gambar A dan B memperlihatkan puncak kontrraksi kandung kemih

Q TIP TEST

Cotton Bud Test Q-tip testpada pasien dengan hipermobilitas urethral. A. Sudut Q tip saat istirahat . B. Sudut Q tip saat maneuver valsava atau saat terjadi peningkatan tekanan intraabdominal. Penurunan urethrovesical junction menyebabkan defleksi keatas Q tip.
Urge Urine Incontinence ditandai dengan gejala kontraksi detrussor yang tak terkendali pada tekanan 15 cm H20 pada pemeriksaan sistometrik
Angka kejadian instabilitas kandung kemih pada populasi umum bervariasi antara 10 – 15%. Pada sebagian besar penderita, etiologi pasti instabilitas kandung kemih tidak diketahui.
Gejala klinik umumnya meliputi :
  • Sering merasa ingin buang air kecil
  • Sering buang air kecil
  • Inkontinensia
  • Nokturia
TERAPI
  • Obat antikolinergik ( Pro Banthine )
  • Agonis β simpatomimetik (Alupen )
  • Obat muskultropik (Urispas )
  • Agonis Dopamin ( Bromokriptin )
  • “Bladder Training”
  • Stimulasi elektrik fungsional

PERBANDINGAN KELUHAN PADA WANITA DENGAN “STRESS INCONTINENCE” DENGAN “URGE INCONTINENCE” :

Tabel

Bacaan Anjuran :

  • American College of Obstetricians and Gynecologists: Pelvic Organ Prolapse. Practice Bulletin No. 79, February 2007
  • Brubaker L, Bump R, Fynes M, et al: Surgery for pelvic organ prolapse. In Abrams P, Cardozo L, Khoury W, et al (eds): 3rd International Consultation on Incontinence. Paris: Health Publication Ltd., 2005a, p 1371
  • Cundiff GW, Fenner D: Evaluation and treatment of women with rectocele: focus on associated defecatory and sexual dysfunction. Obstet Gynecol 104:1403, 2004 [PMID: 15572506]
  • DeLancey JOL: Anatomy of the Female Bladder and Urethra. In Bent AE, Ostergard DR, Cundiff GW, et al (eds) Ostergard's Urogynecology and Pelvic Floor Dysfunction, 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams&Wilkins, 2003, p 9
  • Hendrix SL, Cochrane BB, Nygaard IE, et al: Effects of estrogen with and without progestin on urinary incontinence. JAMA 293:935, 2005 [PMID: 15728164]
  • McKinley M, O'Loughlin VD: Urinary system. In Human Anatomy. New York, McGraw-Hill, 2006, p 843
  • Schaffer JI, Cundiff GW, Amundsen CL, et al: Do pessaries improve lower urinary tract symptoms? J Pelvic Med Surg 12:72, 2006
  • Schaffer JI, Wai CY, Boreham MK: Etiology of pelvic organ prolapse. Clin Obstet Gynecol 48:639, 2005 [PMID: 16012231]
  • Tarnay CM, Bhataia NN: Urinary incontinence. In DeCherney AH, Nathan L (eds): Current Obstetric&Gynecologic Diagnosis&Treatment, 10th ed. New York, McGraw-Hill, 2007. Available at: http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=2390668. Accessed April 26, 2010
  • U.S. Food and Drug Administration: Phenylpropanolamine (PPA) Information Page, 2005. Available at: http://www.fda.gov/cder/drug/infopage/ppa/default.htm. Accessed March 30, 2010

Puerperium

INVERSIO UTERI


Inversio Uteri merupakan kejadian yang sangat jarang terjadi yaitu berkisar antara 1 : 2000 s/d 20.000 kehamilan namun dengan cepat dapat menyebabkan mortalitas maternal.
Ini adalah merupakan komplikasi kala III persalinan yang sangat ekstrem
Inversio Uteri terjadi dalam beberapa tingkatan, mulai dari bentuk ekstrem berupa terbaliknya terus sehingga bagian dalam fundus uteri keluar melalui servik dan berada diluar seluruhnya ( gambar 1 a dibawah ).
Untitled-1
Gambar 1. Reposisi Inversio Uteri.
( a ) Inversio uteri total ( b ) Reposisi uterus melalui servik. ( c ) Restitusi uterus
Oleh karena servik mendapatkan pasokan darah yang sangat banyak maka inversio uteri yang total dapat menyebabkan renjatan vasovagal dan memicu terjadinya perdarahan pasca persalinan yang masif akibat atonia uteri yang menyertainya.
PATOLOGI
Inversio Uteri dapat terjadi pada kasus pertolongan persalinan kala III aktif . khususnya bila dilakukan tarikan talipusat terkendali pada saat masih belum ada kontraksi uterus dan keadaan ini termasuk klasifikasi tindakan iatrogenik ( gambar 2 )
Untitled-2
Gambar 2. Akibat traksi talipusat dengan plasenta yang berimplantasi dibagian fundus uteri dan dilakukan dengan tenaga berlebihan dan diluar kontraksi uterus akan menyebabkan inversio uteri

Faktor yang berhubungan dengan INVERSIO UTERI
  1. Riwayat inversio uteri pada persalinan sebelumnya
  2. Implantasi plasenta di bagian fundus uteri
  3. Atonia uteri
  4. Penatalaksanaan kala III aktif yang salah



PENATALAKSANAAN
90% kasus inversio uteri disertai dengan perdarahan yang masif dan “life-threatening”.
  • Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya renjatan vasovagal dan perdarahan maka harus segera dilakukan tindakan reposisi secepat mungkin.
  • Segera lakukan tindakan resusitasi
  • Bila plasenta masih melekat , jangan dilepas oleh karena tindakan ini akan memicu perdarahan hebat
  • Salah satu tehnik reposisi adalah dengan menempatkan jari tangan pada fornix posterior, dorong uterus kembali kedalam vagina, dorong fundus kearah umbilikus dan memungkinkan ligamentum uterus menarik uterus kembali ke posisi semula . Rangkaian tindakan ini dapat dilihat pada gambar 1
  • Sebagai tehnik alternatif : dengan menggunakan 3 – 4 jari yang diletakkan pada bagian tengah fundus dilakukan dorongan kearah umbilkus sampai uterus kembali keposisi normal.
  • Setelah reposisi berhasil, tangan dalam harus tetap didalam dan menekan fundus uteri. Berikan oksitosin dan setelah terjadi kontraksi , tangan dalam boleh dikeluarkan perlahan agar inversio uteri tidak berulang.
  • Bila reposisi per vaginam gagal, maka dilakukan reposisi melalui laparotomi ( gambar 3 )
Untitled-4

Rabu, 02 September 2009

PATOLOGI MASA NIFAS



Selama masa nifas dapat terjadi 4 masalah utama :
  1. Perdarahan pasca persalinan
  2. Infeksi masa nifas
  3. Tromboemboli
  4. Depresi pasca persalinan
PERDARAHAN PASCA PERSALINAN
  1. Perdarahan pasca persalinan PRIMER
    • Perdarahan > 500 ml yang terjadi dalam waktu 24 jam pasca persalinan
  2. Perdarahan pasca persalinan SEKUNDER
    • Perdarahan abnormal yang terjadi setelah 24 jam pasca persalinan sampai berakhirnya masa nifas.
PERDARAHAN PASCA PERSALINAN PRIMER :
Perdarahan pasca persalinan primer adalah perdarahan lebih dari 500 ml dalam waktu 24 jam pertama pasca persalinan.
Etiologi :
  1. Atonia uteri dan
  2. Sisa plasenta ( 80%)
  3. Laserasi jalan lahir (20% )
  4. Gangguan faal pembekuan darah pasca solusio plasenta
Faktor resiko :
  1. Partus lama
  2. Overdistensi uterus ( hidramnion , kehamilan kembar, makrosomia )
  3. Perdarahan antepartum
  4. Pasca induksi oksitosin atau MgSO4
  5. Korioamnionitis
  6. Mioma uteri
  7. Anaesthesia
Diagnosis :
Jumlah perdarahan pasca persalinan yang sesunguhnya sulit ditentukan oleh karena sering bercampur dengan cairan amnion, tercecer, diserap bersama dengan kain dan lain sebagainya.
Perdarahan pervaginam yang profuse dapat terjadi sebelum plasenta lahir atau segera setelah ekspulsi plasenta.
Perdarahan dapat terjadi secara profus dalam waktu singkat atau sedikit sedikit diselingi dengan kontraksi uterus.
PENATALAKSANAAN :
A. Perdarahan kala III ( plasenta belum lahir )
Masase fundus uterus untuk memicu kontraksi uterus disertai dengan tarikan talipusat terkendali. Bila perdarahan terus terjadi meskipun uterus telah berkontraksi dengan baik, periksa kemungkinan laserasi jalan lahir atau ruptura uteri
Bila plasenta belum dapat dilahirkan , lakukan plasenta manuil
clip_image002
Bila setelah dilahirkan terlihat tidak lengkap maka harus dilakukan eksplorasi cavum uteri atau kuretase
B. Perdarahan pasca persalinan primer ( true HPP )
  1. Periksa apakah plasenta lengkap
  2. Masase fundus uteri
  3. Pasang infuse RL dan berikan uterotonik ( oksitosin , methergin atau misoprostol )
  4. Bila perdarahan > 1 L pertimbangkan tranfusi
  5. Periksa faktor pembekuan darah
  6. Bila kontraksi uterus baik dan perdarahan terus terjadi , periksa kembali kemungkinan adanya laserasi jalan lahir
  7. Bila perdarahan terus berlangsung , lakukan kompresi bimanual
  8. Bila perdarahan terus berlangsung , pertimbangkan ligasi arteri hipogastrika
PERDARAHAN PASCA PERSALINAN SEKUNDER
Etiologi utama adalah :
  1. Proses reepitelialisasi ‘plasental site’ yang buruk ( 80% )
  2. Sisa konsepsi atau gumpalan darah
Bila dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diidentifikasi adanya masa intra uterin (sisa konsepsi atau gumpalan darah ) maka harus dilakukan evakuasi uterus
Terapi awal :
  1. Memasang cairan infuse dan
  2. Memberikan uterotonika (methergin 0.5 mg intramuskular)
  3. Antipiretika dan Antibiotika (bila ada tanda infeksi)
  4. Kuretase hanya dilakukan bila ada sisa konsepsi
INFEKSI MASA NIFAS
FEBRIS PUERPERALIS adalah meningkatnya suhu tubuh diatas 380 C selama 24 jam yang terjadi setelah hari pertama sampai hari ke 10 pasca persalinan atau abortus.
Infeksi dapat bersifat genital atau non – genital
Etiologi :
INFEKSI GENITAL
    1. Patogen potensial yang berada dalam vagina secara normal :
      1. Streptococcus anerobik
      2. Basil gram negatif anerobik
      3. Streptococcus hemolyticus (selain group A)
    2. Bakteri yang berasal dari organ visera sekitar :
      1. E Coli
      2. Clostridium Welchii
    3. Bakteri yang berasal dari organ yang jauh :
      1. Stafilokok
      2. Streptokus Hemolitikus Grup A
    4. Mycoplasma hominis

INFEKSI NON – GENITAL :
    1. Infeksi traktus urinarius : E Coli
    2. Infeksi mamme : stafilikok
LOKASI dan PENYEBARAN INFEKSI
Sebagian besar infeksi nifas yang berasal dari traktus genitalis merupakan infeksi ascending dari vagina atau servik dan mengadakan infeksi pada lokasi plasenta. Penyebaran selanjutnya dari tempat ini dapat terus keatas mengenai tuba falopii – parametrium sehingga menyebabkan pelvio peritonitis.
DIAGNOSIS
  • Pemeriksaan payudara : mastitis
  • Pemeriksaan urine : bakteriuria
  • Palpasi abdomen : nyeri abdomen
  • Inspeksi genitalia : infeksi luka jalan lahir
  • Hapusan vagina : pemeriksaan bakteriologi
TERAPI :
  • Rawat di RS
  • Antibiotika spektrum luas yang tepat
  • Metronidazole 3 x 500 mg selama 5 hari
TROMBOEMBOLI
Trombosis vena dapat terjadi selama kehamilan atau sering terjadi pada masa nifas antara hari ke 5 – 15.
Perawatan obstetri yang baik dan ambulasi dini dapat menurunkan kejadian penyakit tromboemboli.
Proses trombosis selalu berawal dari vena profunda tungkai bawah namun dapat pula menjalar keatas menuju vena femoralis atau vena vena dalam panggul. Situasi ini sering menyebabkan terjadinya emboli paru
DIAGNOSIS DVT – DEEP VEIN THROMBOSIS
Tanda klinik adalah terjadinya demam ringan, kenaikan frekuensi nadi dan rasa lesu.
Tanda klinik tak dapat memberi informasi mengenai progresivisitas penyakit.
Konfirmasi diagnosis adanag dengan menggunakan”colour – enhanced Doppler imaging “ pada vena tibialis dan femoralis.
Diagnosis emboli paru :
  • Dispneoe
  • Nyeri dada
  • Sianosis
  • Krepitasi pada auskultasi paru
Terapi DVT :
  • Heparin infus ( 20.000 dalam 500 PZ denga kecepatan 25 ml / jam untuk mencapai dosis 25.000 IU per hari ) selama 5 hari dan dipantau dengan pemeriksaan APTT. Active partial tromboplastin time
  • Tirah baring dengan tungkai di elevasi selama heparinisasi
Terapi Emboli Paru :
  • Heparin bolus 25.000 IU intra vena dan diikuti dengan pemberian per infus seperti ada kasus DVT
MASALAH PSIKIATRI PASCA PERSALINAN
  1. Third Days Blues”
  2. Depresi pasca persalinan
  3. Psikosis pasca persalinan
“third days blues”
50 – 70% terjadi instabilitas emosional pada ibu pasca persalinan dengan penyebab yang tidak jelas.
Gejala berawal antara hari ke 3 – 5 pasca persalinan.
Instabiltas emosional dapat berlangsung kurang dari 1 minggu namun ada kasus yang dapat terjadi sampai berbulan-bulan
DEPRESI PASCA PERSALINAN
8 – 12% wanita pasca persalinan akan menampakkan tanda – tanda depressi dalam 5 bulan pertama pasca persalinan.

Resiko tinggi mengalami kejadian ini :
  1. Ibu berusia < 16 tahun
  2. Riwayat keluarga dengan depresi atau pernah menderita depresi
  3. Depresi pada masa hamil
  4. Masalah hubungan keluarga pada masa remaja
  5. Tidak ada dukungan dari pasangan selama kehamilan , persalinan
  6. Merawat bayi sendirian tanpa keluarga atau teman
  7. Pengalaman negatif saat berhubungan dengan tenaga kesehatan selama kehamilan
  8. Riwayat komplikasi kehamilan
PSIKOSIS PASCA PERSALINAN
1 – 3% wanita mengalami kejadian psikosis pasca persalinan dalam bentuk manik atau depresi naun ada juga yang diselingi dengan episode skisofrenik
Gangguan ini dapat terjadi secara mendadak pada hari 5 – 15 pasca persalinan. Pada awalnya pasien merasa bingung , cemas, tidak dapat tidur dan sedih. Delusi ( merasa bahwa anaknya mengalami sesuatu yang berbahaya ) atau halusinasi terjadi dengan cepat.
Pasien harus segera memperoleh perawatan secara profesional.

LAKTASI


Selama kehamilan terjadi perkembangan pada payudara. Estrogen menyebabkan bertambahnya ukuran dan jumlah duktus. Progesteron menyebabkan peningkatan jumlah alveolus.
hPL merangsang perkembangan alveolar dan diperkirakan terlibat dalam sintesa casein, lactalbumin dan lactoglobulin dalam sel alveolus.
Meskipun hPr selama kehamilan meningkat tapi tidak terjadi laktasi oleh karena kadar estrogen yang tinggi menyebabkan adanya penguasaan terhadap “binding site” pada alveolus sehingga aktivitas laktogenik dari hPr terhalang.
Pada akhir kehamilan, terjadi sekresi cairan jernih kekuningan yang disebut kolustrum yang mengandung imunoglobulin, produksi kolustrum terus meningkat pasca persalinan dan digantikan dengan produksi ASI.
Kadar estrogen menurun dengan cepat 48 jam pasca persalinan sehingga memungkinkan berlangsungnya aktivitas hPr terhadap sel alveolus untuk inisiasi dan mempertahankan proses laktasi.
Proses laktasi semakin meningkat dengan isapan pada payudara secara dini dan sering oleh karena secara reflektoar, isapan tersebut akan semakin meningkatkan kadar hPr
Emosi negatif [kecemasan ibu bila ASI tak dapat keluar] menyebabkan penurunan sekresi prolaktin melalui proses pelepasan prolactine-inhibiting factor (dopamin) dari hipotalamus.
Pada hari ke 2 dan ke 3 pasca persalinan, hPr merangsang alveolus untuk menghasilkan ASI. Pada awalnya, ASI menyebabkan distensi alveolus dan ductus kecil sehingga payudara menjadi tegang.
image
Reflek Prolaktin
REFLEK EJEKSI ASI
clip_image004
Sel mioepitelial sekitar villi yang sebagian berisi ASI

Keluarnya ASI terjadi akibat kontraksi sel mioepitelial dari alveolus dan ductuli (gambar atas) yang berlangsung akibat adanya reflek ejeksi ASI ( let-down reflex ).
clip_image006
Reflek ejeksi ASI

Reflek ejeksi ASI diawali hisapan oleh bayi → hipotalamus → hipofisis mengeluarkan oksitosin kedalam sirkulasi darah ibu ( gambar atas)
Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi sel mioepitelial dan ASI disalurkan kedalam alveoli dan ductuli → ductus yang lebih besar → penampungan subareolar.
Oksitosin mencegah keluarnya dopamin dari hipotalamus sehingga produksi ASI dapat berlanjut.
Emosi negatif dan faktor fisik dapat mengurangi reflek ejeksi ASI, tugas perawatan pasca persalinan antara lain meliputi usaha untuk meningkatkan keyakinan seorang ibu bahwa dia mampu untuk memberikan ASI kepada bayinya.
Pernyataan bersama antara WHO dan UNICEF yang dipublikaskan tahun 1989 dibawah memperlihatkan dukungan apa yang diperlukan bagi keberhasilan laktasi.
TEN STEPS TO SUCCESFUL BREASTFEEDING
clip_image008
KEBUTUHAN NUTRISI SELAMA LAKTASI
Energi laktasi perhari ± 2095 kJ, kebutuhan energi umumnya dapat terpenuhi dari cadangan lemak ibu.
Bila terdapat kcemasan pada ibu mengenai hal tersebut, dapat disarankan baginya untuk menambahkan asupan nutrisi secukupnya.
MEMPERTAHANKAN PROSES LAKTASI
Cara paling efektif dalam mempertahankan proses laktasi adalah isapan bayi yang reguler sehingga reflek prolaktin dan reflek ejeksi ASI dapat terus terjadi dan distensi alveolus dapat dicegah.
Distensi alveolus menyebabkan sekresi ASI alveolus menjadi tidak efisien dan rasa sakit pada payudara menyebabkan ibu enggan untuk menyusui bayinya.
Dengan demikian pencegahan reflek yang menghambat pengeluaran dopamin dari hipotalamus menghilang dan aktivitas alveolar menjadi berkurang pula.
KEBERHASILAN PEMBERIAN ASI
Keberhasilan proses laktasi memerlukan beberapa hal :
  1. Terjadi sekresi ASI dalam alveolus.
  2. Reflek ejesi ASI efisien.
  3. Ibu memiliki motivasi untuk memberikan ASI.
Seperti terlihat dalam “ Ten Steps to Succesful Breastfeeding” “ maka keberhasilan laktasi akan terjadi bila :
  1. Bayi diberikan pada ibu untuk menyusui sedini mungkin dan Rooming-in.
  2. Bayi diperkenankan untuk menyusui sesering mungkin.
  3. Setelah ASI keluar, bayi mengisap ASI dengan frekuensi sesuai kebutuhannya termasuk di malam hari sekalipun.
  4. Bayi tidak diberi air atau glukosa tanpa persetujuan dokter atau orang tuanya
  5. Staf perawatan wajib membantu ibu untuk mendapatkan keberhasilan dalam proses laktasi.
TEHNIK MENYUSUI
Ibu perlu memperoleh petunjuk bagaimana mempertemukan mulut bayi dengan puting susu agar bayi membuka mulut dan mencari lokasi puting susu.
clip_image010
Posisi ideal puting susu dalam mulut bayi
(a) dan (b) puting susu dikulum bayi dan
(c) puting berada tempat yang benar dalam mulut bayi
Ibu kemudian menahan payudara dengan puting susu diantara jari telunjuk dan jari tengahnya sehingga puting menonjol dan bayi dapat menempatkan gusinya pada areola mammae dan bukan pada puting susu (gambar atas) . Cara ini memungkinkan bayi bernafas saat menyusu. (2 buah gambar di bawah)
clip_image012
Tehnik memberikan ASi
clip_image014
Melepaskan puting dari hisapan bayi
Pada gambar diatas terlihat bagaimana cara ibu melepaskan puting dari mulut bayi tanpa menimbulkan rasa sakit. Cara melepaskan dari isapan tersebut adalah dengan meletakkan jari kelingking kesudut mulut bayi untuk menghentikan isapan sebelum melepaskan mulut bayi dari puting susu.
Sebagian kecil bayi membutuhkan tambahan cairan selain ASI pada 4 hari pertama, bila bayi terlihat mengalami dehidrasi, dapat diberikan air dengan sendok setelah pemberian ASI. Pemberian dengan botol susu harus dihindarkan karena proses pembelajaran bayi untuk menyusu akan terhenti.
OBAT YANG TIDAK BOLEH DIBERIKAN PADA IBU LAKTASI
Tabel 1 Obat yang menimbulkan efek bermakna pada masa laktasi
Jenis Obat
Efek samping
Acebutolol
Hipotensi, bradikardia, takipnea
5-Amonosalicylic acid
Diarrhoea
Aspirin (salicylate)
Acidosis Metabolic
Atenolol
Sianosis, bradikardia
Bromocripitine
Supresi laktasi.
Clemastine
Drowsiness, iritabel, menolak pemberian ASI ,menjerit, kaku kuduk
Ergotamine
Muntah, diarrhoea, kejang
Lithium
A third to half therapeutic blood concentration in infatnts
Phenindione
Anticoagulant-increased prothromnine and partial thromboplastine time in one infant – not used in United States
Phenobarbital
Sedation: infantile spasmes after ewaning from milk containing phenobarbital; methemoglobinemia (one case)
Primidone
Sedasi, masalah nutrisi
Sulfasalazine
Diarea berdarah
Dari : American Academy of Pediatrics and The American College of Obstetrics and Gynecologists, 2002
MENCEGAH dan MENEKAN LAKTASI
Cara sederhana untuk menghentikan laktasi adalah dengan menghentikan laktasi dan menghindari rangsangan pada puting susu.
Meskipun terasa sakit, penumpukan air susu dalam sistem saluran akan dapat menekan produksi ASI dan terjadi reabsorbsi pada ASI.
Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan analgesik.
Penekanan produksi ASI secara medis dengan estrogen atau bromokriptin tidak dianjurkan.

FISIOLOGI MASA NIFAS


Puerperium (masa nifas) atau periode pasca persalinan umumnya berlangsung selama 6 – 12 minggu.
Puerperium adalah periode pemulihan dari perubahan anatomis dan fisiologis yang terjadi selama kehamilan.
Puerperium dapat dibagi menjadi :
  • Periode pasca persalinan : 24 jam pasca persalinan.
  • Periode puerperium dini : minggu pertama pasca persalinan.
  • Periode puerperium lanjut : sampai 6 minggu pasca persalinan.
PERUBAHAN FISIOLOGI dan ANATOMI
Perubahan endokrin yang terjadi selama kehamilan akan terjadi secara cepat :
  • hPL- human Placental Lactogen serum tidak terdeteksi dalam waktu 2 hari dan
  • hCG- Human Chorionic Gonadotropin tidak terdeteksi dalam waktu 10 hari pasca persalinan.
  • Kadar estrogen dan progesteron serum menurun sejak 3 hari pasca persalinan dan mencapai nilai pra-kehamilan pada hari ke 7. Nilai tersebut akan menetap bila pasien memberikan ASI ; bila tidak memberikan ASI estradiol akan mulai meningkat dan menyebabkan pertumbuhan folikel.
  • hPr – Human Prolactine pada pasien yang memberikan ASI, kadar human hPr akan meningkat.
Sistem kardiovaskular akan kembali pada nilai sebelum kehamilan dalam waktu 2 minggu pasca persalinan.
Pada 24 jam pertama terjadi “hypervolemic state” akibat adanya pergeseran cairan ekstravaskular kedalam ruang intravaskular. Volume darah dan plasma normal kembali pada minggu kedua.
Sampai pada 10 hari pertama pasca persalinan, peningkatan faktor pembekuan dalam kehamilan akan menetap dan diimbangi dengan kenaikan aktivitas fibrinolisis.
PERUBAHAN MORFOLOGIS PADA TRAKTUS GENITALIA
Melalui proses katabolisme jaringan berat uterus ceoat menurun dari 1000 gram saat persalina menjadi 100 – 200 g 3 minggu pasca persalinan
Servik kehilangan elastisitasnya dan segera memperoleh konsistensi normal
Dinding vagina edematous, kebiruan serta kendor dan tonus kembali kearah normal setelah 1 – 2 minggu.
Pada akhir kala III, besar uterus setara dengan ukuran kehamilan 20 minggu dengan berat 1000 gram. Pada akhir minggu pertama berat uterus mencapai 500 gram.
Pada hari ke 12, uterus sudah tidak dapat diraba melalui palpasi abdomen.
clip_image002
Perubahan involusi tinggi fundus uteri dan ukuran uterus selama 10 hari pasca persalinan
“placental site” mengecil dan dalam waktu 10 hari diameternya kira-kira 2.5 cm.
Lochia yang terjadi sampai 3 – 4 hari pasca persalinan terdiri dari darah, sisa trofoblas dan desidua coklat kemerahan yang disebut lochia rubra.
Selanjutnya berubah menjadi lochia serosa yang seromukopurulen dan berbau khas.
Selama minggu II dan III, lochia menjadi kental dan putih kekuningan yang disebut lochia alba terdiri dari leukosit dan sel desidua yang mengalami degenerasi. Setelah minggu 5 – 6, sekresi lochia menghilang yang menunjukkan bahwa proses penyembuhan endometrium sudah hampir sempurna.
Lochia yang sangat berbau tidak sedap apalagi bila disertai dengan gejala sistemik berupa tanda tanda infeksi menandakan adanya endometritis.
PRINSIP PENATALAKSANAAN PUERPERIUM
Pasca persalinan, bila pasien menghendaki maka diperkenankan untuk berjalan-jalan, pergi ke kamar mandi bila perlu dan istirahat kembali bila merasa lelah.
Sebagian besar pasien menghendaki untuk beristirahat total ditempat tidur selama 24 jam terutama bila dia juga mengalami cedera perineum yang luas.
Fungsi perawatan medis adalah:
  1. Memberikan fasilitas agar proses penyembuhan fisik dan psikis berlangsung dengan normal.
  2. Mengamati jalannya proses involus uterus.
  3. Membantu ibu untuk dapat memberikan ASI.
  4. Membantu dan memberi petunjuk kepada ibu dalam merawat neonatus.
Tak ada waktu yang baku mengenai lama perawatan pasca persalinan, diperkirakan bahwa semakin lama tinggal di rumah sakit, proses laktasi menjadi semakin baik.
PERAWATAN PUERPERIUM DI RUMAH SAKIT
Ambulasi dini membuat perawatan nifas menjadi lebih sederhana.
Pemeriksaan meliputi :
  • Pemeriksaan tekanan darah, nadi dan pernafasan secara teratur.
  • Inspeksi perineum setiap hari untuk melihat proses penyembuhan.
  • Pada pasien dengan cedera perineum luas perlu diberikan analgesik.
  • Penilaian jumlah dan sifat lochia.
  • Penilaian proses involusi dengan menentukan tinggi fundus uteri.
  • Analgesik mungkin juga diperlukan bila ada keluhan nyeri akibat kontraksi uterus terutama saat laktasi.
MASALAH TRAKTUS URINARIUS
24 jam pasca persalinan, pasien umumnya menderita keluhan miksi akibat :
  • Depresi pada reflek aktivitas detrussor yang disebabkan oleh tekanan dasar vesika urinaria saat persalinan.
  • Fase diuresis pasca persalinan, bila perlu retensio urine dapat diatasi dengan melakukan kateterisasi.
Rortveit dkk (2003) menyatakan bahwa resiko inkontinensia urine pada pasien dengan persalinan pervaginam sekitar 70% lebih tinggi dibandingkan resiko serupa pada persalinan dengan Sectio Caesar.
10% pasien pasca persalinan menderita inkontinensia (biasanya stress inkontinensia) yang kadang-kadang menetap sampai beberapa minggu pasca persalinan. Untuk mempercepat penyembuhan keadaan ini dapat dilakukan latihan pada otot dasar panggul.
Retensio Urine
  • Sensasi dan kemampuan pengosongan kandung kemih terganggu akibat pemberian anaestesi atau analgesi.
  • Ching-chung dkk (2002) : angka kejadian retensio urine pasca persalinan 4%
  • Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dauer catheter selama 24 jam
  • Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka nampaknya ada gangguan proses urinasinya. Maka biarkan kateter tetap terpasang dan dibuka – tutup setiap 4jam, bila volume urine < 200 ml – kateter dilepas dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa
Retensio urine kemungkinan oleh karena hematoma atau edema sekitar urtehra sehingga terapi meliputi : antibiotika dan obat anti inflamasi,
MASALAH PENCERNAAN
Sejumlah pasien pasca persalinan mengeluh konstipasi yang umumnya tidak memerlukan intervensi medis. Bila perlu dapat diberi obat pencahar supositoria ringan (dulcolax).
Haemorrhoid yang diderita selama kehamilan akan menyebabkan rasa sakit pasca persalinan dan keadaan ini memerlukan pemberian obat supositoria.
NYERI PUNGGUNG
Nyeri punggung sering dirasakan pada trimester ketiga dan menetap setelah persalinan dan pada masa nifas.
Kejadian ini terjadi pada 25% wanita dalam masa puerperium namun keluhan ini dirasakan oleh 50% dari mereka sejak sebelum kehamilan.
Keluhan ini menjadi semakin hebat bila mereka harus merawat anaknya sendiri.
MASALAH PSIKOLOGI PADA MASA NIFAS
Keberadaan bayi tidak jarang justru menimbulkan “stress” bagi beberapa ibu yang baru melahirkan.
Ibu merasa bertanggung jawab untuk merawat bayi, melanjutkan mengurus suami, setiap malam merasa terganggu dan sering merasakan adanya ketidak mampuan dalam mengatasi semua beban tersebut.
Banyak wanita pasca persalinan menjadi sedih dan emosional secara temporer antara hari 3 – 5 (third day blues) dan kira-kira 10% diantaranya akan mengalami depresi hebat.
“Third Day Blues”
Etiologi tak jelas, diperkirakan karena gangguan keseimbangan hormonal, reaksi eksitasi akibat persalinan dan perasaan tak mampu untuk menjadi seorang ibu.
“Third days blues” dapat berupa :
  • Lanjutan rasa cemas saat kehamilan dan proses persalinan
  • Rasa tak nyaman pada masa nifas dan tak mampu menjadi orangtua.
  • Ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu yang baik dan berguna
  • Rasa lelah pasca persalinan dan kurang tidur /istirahat
  • Penurunan gairah seksual atau tidak lagi menarik seperti waktu masih gadis
  • Labilitas emosional.
  • Depresi berat sampai beberapa minggu-bulan.
Penatalaksanaan : terapi medis, diskusi dengan paramedis, penjelaskan mengenai apa yang terjadi dan bila pasien menghendaki maka kunjungan keluarga dibatasi.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa rooming-in dapat mengurangi kejadian “third days blues”
Seksualitas Pasca Persalinan
  • Setelah persalinan, waktu serta perhatian ibu banyak tersita untuk mengurus bayinya.
  • Bila terdapat cedera perineum akibat persalinan, maka vagina dan perineum akan mengalami ketegangan selama beberapa minggu.
  • Gairah seksual seringkali mengalami penurunan.
  • Pada beberapa ibu yang memberikan ASI dapat terjadi penurunan libido dan menderita kekeringan pada vagina.
  • Hubungan seksual bukan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kenikmatan seksual dan wanita tersebut masih dapat menerima rangsangan seksual dalam bentuk sentuhan atau rangsangan lain yang tak jarang berlanjut dengan hubungan seksual intercourse dan dapat menyebabkan terjadinya orgasmus pada wanita.
  • Konsultasi dan advis dari dokter kadang diperlukan bila terdapat penurunan gairah seksual pasca persalinan yang terlalu berat.


KONTRASEPSI dan STERILISASI
Masa puerperium dini adalah saat terbaik untuk membahas mengenai kontrasepsi.
Masa infertilitas anovulatoar hanya berlangsung selama 5 minggu pada pasien yang tidak memberikan ASI dan 8 minggu pada yang memberikan ASI secara penuh.
Tubektomi dikerjakan saat SC atau maksimum 24 – 48 jam pasca persalinan normal.
Beberapa pasangan menghendaki agar tubektomi dilakukan 6 – 8 minggu pasca persalinan untuk memberikan kesempatan bagi kesehatan anak dan memahami sepenuhnya arti sterilisasi permanen bagi keluarganya.
Kontrasepsi alamiah dimulai segera setelah pasien mendapatkan haid. Perlindungan kontrasepsi alamiah pada pemberi ASI sekitar 98% sampai selama 6 bulan.
Pada pasien non laktasi, pemberian kontrasepsi oral kombinasi ( sediaan kombinasi estrogen < 35 µg dan progestin ) diberikan paling cepat 2 – 3 minggu pasca persalinan, jangan melakukan pemberian yang terlalu dini oleh karena pasien masih dalam “hypercoagulable state”
Pada pasien laktasi dapat diberikan kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestin (norethindrone 0.35 mg) atau injeksi Depo-Provera® 150 mg setiap 3 bulan agar tidak terjadi penekanan proses laktasi.
Implan Levonorgestrel dapat diberikan setelah laktasi berlangsung dengan lancar (segera atau 6 minggu pasca persalinan), keberatan penggunaan metode ini adalah: perdarahan iregular, mahal dan kesulitan dalam pemasangan atau pengeluaran.
IUD ( copper containing T Cu Ag® , Paraguard t 380A® , Progesterone-releasing Progestasert ®, levonorgestrel-releasing Mirena ® ) sangat efektif dalam pencegahan kehamilan dan sebaiknya dipasang pada kunjungan post partum pertama atau segera setelah persalinan (kejadian ekspulsi sangat tinggi)
Jenis kontrasepsi bagi ibu pada masa laktasi
  1. Kontrasepsi oral jenis ‘Progestine–only’ 2 - 3 minggu pasca persalinan
  2. Depo Provera® 6 minggu pasca persalinan
  3. Implan hormon 6 minggu pasca persalinan
  4. Kontrasepsi oral kombinasi diberikan 6 minggu pasca persalinan dan hanya bila ASI sudah berlangsung dengan baik dan status gizi anak harus diawasi dengan baik
PEMERIKSAAN PASCA PERSALINAN
Kunjungan pasca persalinan pertama (4 – 6 minggu)
  1. Anamnesa mengenai perdarahan pervaginam.
  2. Tekanan darah dan berat badan.
  3. Darah lengkap.
  4. Pemeriksaan payudara:
    1. Pemakaian BH yang sesuai atau memadai.
    2. Kelainan puting dan masalah laktasi.
  5. Pemeriksaan vagina, kondisi hipoestrogen yang menyebabkan kekeringan epitel vagina diatasi dengan pemberian krim estrogen menjelang tidur malam.
  6. Inspeksi servik [ bila perlu dilakukan hapusan papaniculoau].
  7. Pemeriksaan luka perineum.
  8. Pemeriksaan bimanual pada uterus dan adneksa.
  9. Konsultasi mengenai: pekerjaan profesional rutin, metode kontrasepsi, dan perencanaan kesejahteraan dalam keluarga.